Generasi Pengabdi Hoaks

Jefrin Haryanto*

Di masa lalu, ketika Anda membutuhkan Informasi, Anda tinggal pergi membuka buku ensiklopedia, Anda mencarinya, dan Anda dapat mempercayai Informasi itu dengan benar.

Namun dengan hadirnya media sosial seperti saat ini, satu praktik tersebut bagi sejumlah orang adalah upaya kolot yang juga alternatif ke sekian setelah internet.

Kita hari ini sedang berada didunia dimana anak-anaknya lahir dan dibesarkan dalam ekosistem media sosial yang sulit terpisahkan sebagai sumber Informasi.

Edgar Lois ( 2022) dalam statementnya di news week edisi minggu kedua bulan maret, bahkan dengan nada agak sinis menyebut media sosial menjadi agama baru yang hadirnya seperti candu.

Jutaan orang diikat lalu dikendalikan dengan sangat lembut, untuk kemudian selalu merasa lapar dan selalu mengkonsumsi lagi dan lagi. Artinya kedikdayaan diri kita sebenarnya telah pupus dan disedot oleh media sosial.

Faktanya media sosial hanya mampu menyodorkan Informasi tanpa dengan tegas memverifikasi kebenaran dan kualitas informasinya.

media sosial menawarkan otonomi pada pengguna, sehingga pengguna memegang kendali penuh atas Informasi yang dihasilkan. Hari ini setiap orang bisa menjadi penulis, merangkap editor, merangkap publisher dan distributor.

Dalam situasi seperti ini, maka daya kritis dan kemampuan menyaring Informasi dipihak pengguna menjadi mutlak diperlukan.

media sosial faktanya bisa menyodorkan emas tapi juga bisa mengalirkan sampah kedalam diri penggunanya.

Medsos tidak pandang bulu. Dia bisa merambah ke semua kelompok sosial, kelompok umur, aliran dan ke semua tempat atau kelompok yang menyediakan ruang untuknya.

Nah bagimana anak-anak dan Remaja kita?

Di zaman di mana semua orang mempunyai akses terhadap ponsel dan komputer ini, beragam Informasi semakin riuh sesak mewarnai media sosial.

Bukan saja dari pihak media, perputaran Informasi justru semakin deras di tangan pengguna internet, mulai dari orang dewasa sampai dengan anak-anak.